Saleuëm


Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.... Kru Seumangat .... Saudara-saudaraku yang telah singgah dalam blog saya. Jangan lupa tinggalkan buah tangan saudaraku dengan meninggalkan sepatah dua kata sebagai nasehat terhadap saya. Buah tangan saudaraku bisa diketik pada comment yang tersedia di bawah setiap halaman dalam blog ini.

November 15, 2012

Wali Nanggroë ke 9



Harian Serambi Indonesia yang terbit pada 13 November 2012 (http://aceh.tribunnews.com/2012/11/13/ini-dia-wali-Nanggroë-satu-sampai-sembilan) memuat berita tentang Wali Nanggroë yang ke-9. Disini perlu meluruskan pemberitaan tersebut. Sebab mempunyai beberapa kejanggalan dalam pemberitaan tersebut. Kejanggalan yang sangat ketara dalam susunan Wali Nanggroë dari 1 sampai 9. Entah dari mana rujukan sehingga bisa termasuk Teungku Ulèë Tutuë Hasan Muhammad (menantu dari Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman dari anak pertama, Tengku Fathimah). Teungku Ulèë Tutuë juga kakek dari ibu saya, Asma Abdullah. Teungku Abdullah adalah anak laki-laki dari Teungku Muhammad Hasan tersebut. Teungku Abdullah juga sering di sebut Teungku Muda sebab Abdullah yang tua adalah ayahnya Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah bin Ubaidillah.

Setahu saya dari Tengku Tjhik Hasan di Tiro dalam beberapa bukunya dan dalam ceramahnya dalam pendidikan Atjeh menyebutkan bahwa beliau bisa menjabat Wali Nanggroë karena waris dari kakeknya Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin dan ayah dari kakeknya Tengku Muhammad Saman di Tiro. Sehingga dalam beberapa kunjungan beliau ke Thailand, Arab Saudi dan beberapa Negara Eropa beliau dianggap sebagai pewaris Negara atau pangeran. Saya pernah melihat beberapa surat dari album pribadi Tengku Hasan di Tiro yang menyebutkan beliau sebagai Prince – Pangeran, surat itu saya lihat waktu saya mengunjungi Tengku Hasan di Tiro di Sweden pada January 2007. Tidak ada bantahan yang bisa disanggah bahwa Tengku Hasan di Tiro memang layak dan wajib menjadi Wali Nanggroë yang tidak hanya sebatas sebagai “pemangku adat”, tetapi jauh lebih luas dari pada itu.

Kenapa kita harus mundur kebelakang dalam menerjemahkan Wali Nanggroë yang harus “diikat” dengan UUPA? Apakah UUPA sekarang sudah final? Apakah UUPA sekarang sudah sangat kuat untuk menyatukan bangsa Aceh? Sehingga kekuatan Wali Nanggroë yang pertama Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sebagai pewaris Nabi (lihat Hikayat Prang Sabi) tidak cukup kuat? Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman bukan hanya sebagai pemimpin dalam peperangan melawan penajajahan Belanda di Aceh. Tetapi juga beliau sebagai Wali Nanggroë yang sehingga pada masa itu Raja Aceh pun tunduk terhadap Tengku Tjhik di Tiro. Lihat surat yang didapati pada mayat Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin (Tengku Majét di Tiro) yang dicap oleh tiga orang kalangan Istana di Aceh, Tuanku Radja Keumala, Teuku Panglima Polem dan Tuanku Mahmud. Pada surat ini mereka melakapkan Wali Nanggroë (masa itu dijabat oleh Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin – Tengku Majét) sebagai Almukarram, Almudabbir, Almalik. Semua gelar ini adalah gelar yang ada pada Raja yang sedang dalam pemerintahan (lihat attachment). Jadi bermakna Wali Nanggroë ini adalah pemimpin yang teratas di Aceh. Jika telah menjabat sebagai pemimpin teratas maka semua hal dalam pemerintahan adalah dalam kekuasaan Wali Nanggroë.

Jadi untuk menjadi Wali Nanggroë wajib memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, terutamanya dalam bidang Agama Islam dan adat resam Aceh. Selain dari pada itu wajib dilihat juga asal dari keturunannya. Sebenarnya pada masa lalu, untuk dapat menjabat sebagai Raja atau pemimpin golongan lainnya sangat ketat dalam peraturannya. Wajib dilihat sejarahnya dari keturunan, kependidikan, tingkah laku, ibadat (tidak pernah dengan sengaja meninggalkan shalat jamaah), pergaulan, makanannya (tidak pernah makan makanan haram) dan lainnya. Yang sangat pokok adalah Keturunan, Ilmu Agama, Ilmu Umum, menguasai beberapa bahasa asing selain bahasa Arab yang wajib, pergaulannya, berapa lama pernah mengajar atau berapa banyak buku pernah ditulis. Kenapa pergaulan sangat terutama disini? Karena jika calon pemimpin itu pernah berkawan dengan pencuri misalnya, jadi naluri mencuri harta negara sudah ada dalam tubuhnya. Apakah Wali Nanggroë sekarang sudah termasuk dalam katagori ini?



Teungku Muhammad Hasan Ulèë Tutuë

Teungku Ulèë Tutuë ini tidak pernah menjabat sebagai Wali Nanggroë. Tidak pernah tertulis dalam sejarah dan tidak pernah tercantum dalam pelaksanaan bahwa Teungku Ulèë Tutuë Muhammad Hasan menjadi Wali Nanggroë. Jika adapun terbaca sekarang ini kemungkinan ada sesuatu pihak yang ingin mengaut keuntungan dari keadaan politik sekarang yang telah mengesampingkan sejarah sebenarnya. Yang anehnya, dengan sangat dipaksanya Teungku Ulèë Tutuë disenaraikan sebagai Wali Nanggroë sebelum Tengku Ma'at di Tiro. Sebenarnya Wali Nanggroë yang pertama adalah Tengku Tjhik Muhammad Saman di Tiro yang langsung menerimanya dari Radja Atjeh sewaktu Radja Atjeh telah meninggalkan Istana untuk menyelamatkan diri ke Istana Keumala Dalam pada tahun 1874. Pihak Istana telah terpukul dengan jatuhnya Istana ketangan Belanda dan telah banyak panglima-panglima perang Istana syahid maka keluarga Istana mengungsi ke Keumala Dalam.

Teungku Ulèë Tutuë memang termasuk dalam pasukan Tengku Tjhik di Tiro dalam peperangan. Sehingga pada masa pasukan Tengku Tjhik di Tiro harus melawan Belanda dengan cara gerilya dalam hutan dan pegunungan di Aceh, Teungku Ulèë Tutuë ikut sama dalam peperangan. Istrinya Tengku Fatimah binti Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman harus tinggal bersama anak-anaknya di Garot, Pidie. Menurut pengetahuan kami, Teungku Ulèë Tutuë syahid bersama dengan Tengku Tjhik di Tiro Mahjeddin (Tengku Majét di Tiro), sehingga kuburnya pun bersama Tengku Majét di Pulo Meusdjid, Tangse. Jika memang harus masuk Teungku Ulèë Tutuë dalam pernah menjabat Wali Nanggroë (biarpun tidak pernah), maka Malik Mahmud bukan yang ke-9, tapi ke 10. Lihat attachment senarai pemimpin di Aceh dari Raja sampai ke Wali Nanggroë.

Setelah syahid Tengku Majét di Tiro, Wali Nanggroë ini dijabat oleh Tengku Ma'at di Tiro. Seorang lelaki yang sangat muda, baru 16 tahun umurnya. Dan beliau pun syahid dengan peluru yang menembus sebelah mata dan satu peluru lagi pada dadanya. (baca buku Zentgraaf, Perang Kolonial Belanda di Aceh).


Musanna Tiro






Menurut pandangan saudara, bagaimana Atjeh kedepan?

forex trading